Pembebasan Irian Jaya

Perjanjian KMB yang menyelesaikan pertikaian antara Indonesia-Belanda, ternyata masih meninggalkan masalah Irian Barat. Dalam perjanjian disebutkan bahwa penyelesaian masalah Irian Barat “ditunda” selama satu tahun. Setelah perjuangan pembebasan Irian Barat melalui cara-cara diplomasi mengalami kegagalan, pemerintah menempuh cara berikut :
1) Pembatalan secara sepihak perjanjian KMB yang dilakukan dengan UU No.13 Th.1956 tgl 3 Mei1956
2) Pembentukan Propinsi Irian Barat dengan ibukota Sou Siu dan dengan gubernur pertama Zainal Abidin Syah
3) Sesudah kegagalan di PBB dalam bulan September 1957 maka gerakan pembebasan Irian Barat dimulai dengan rapat umum di Jakarta pada tgl 18 November 1957, diikuti oleh pemogokan umum buruh-buruh yang bekerja di perusahaan Belanda pada tgl 2 Desember 1957, dan larangan-larangan terbitan dan film berbahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang terbang dan mendarat di wilayah Indoensia, serta penutupan kegiatan konsuler Belanda di Indonesia
4) Pengambil-alihan perusahaan bermodal Belanda mula-mula dilakukan oleh para buruh yang bekerja di perusahaan itu, kemudian diambil alih oleh Pemerintah dengan PP No.23 Th.1958. Dengan demikian, perusahaan Belanda dinyatakan menjadi milik negara Republik Indonesia
5) Pembentukan Front Nasional Pembebasan Irian Barat pada tgl 10 Februari 1958 untuk menggalang kesatuan gerak rakyat alam perjuangan pembebasan Irian Barat.
6) Pemutusan hubungan diplomatic dengan Belanda pad tgl 17 Agustus 1960 sebagai jawaban terhadap Belanda yang pada awal Agustus 1960 mengadakan “pameran bendera” dengan mengirimkan kapal induk “Karel Doorman” untuk memperkuat militer Belanda di Irian Barat. Dengan demikian, perjuangan pembebasan Irian Barat memasiki fase baru, yakni perjuangan di bidang militer.
7) Sejalan dengan langkah di atas, dilakukan pembelian senjata dari Uni Soviet
8) Pada tgl 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) :
a. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial!
b. Kibarkan Sang Merah utih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!
c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa!
9) Sebagai tindak lanjur dari Trikora, dibentuklah Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang terdiri atas :
Panglima Besar : Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno
Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution
Kepala Staf : Mayor Jenderal Achmad Yani
Untuk melaksanakan operasi pembebasan Irian Barat secara militer dibentuklah Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dengan susunan :
Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto
Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono
Wakil Panglima II : Kolonel Udara Leo Wattimena
Kepala Staf : Koloner Ahmad Tahir
Tugas Komando Mandala :
1) Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operas-operasi militer dengan tujuan mengembalikan wilayah Propinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia
2) Mengembalikan situasi militer di wilayah Propinsi Irian Barat sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi, dan menciptakan secara de facto di wilayah Irian Barat daerah-daerah yang bebas dari kekuasaan Belanda atau mendudukkan untsur kekuasaan/pemerintahan RI .Dalam pertempuran laut melawan Belanda di Laut Aru, 15 Januari 1962, Komodor Yos Sudarso
Perkembangan sikap diplomasi dan konfrontasi militer akhirnya berhasil mengubah sikap Belanda menjadi bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Akhirnya pada tgl 15 Agustus 1962 tercapailah Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang isi pokoknya :
1) Belanda mengakhiri penjajahannya di Irian Barat dan menyerahkannya kepada PBB paling lambat tgl 1 Oktober 1962. Pada 1 Januari 1963 bendera Belanda diturunkan dari Irian Barat sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan.
2) Setelah enam bulan di bawah kekuasaan PBB, Irian Barat diserhkan kepada Pemerintah Republik Indoensia paling lambat tanggal 1 Mei 1963. Untuk melaksanakan tugas itu, PBB membentuk United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)
3) Pemerintah Republik Indonesia wajib menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) paling lambat akhir tahun 1969
Irian Barat menjadi propinsi ke-26 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan nama Irian Jaya. Pada tahun 1969 diselenggarakan pepera dalam tiga tahap dari 24 Maret 1969 – 4 Agustus 1969. Lewat pepera, penduduk Irian Barat memilih tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Trikora
Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik dua tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Indonesia Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Latar belakang
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda, . Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun.

Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal 23 September 1956.[1]
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga
Persiapan Militer
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan Desember 1960, Jendral A. H. Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan.[2]
Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan “menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat”. Tapi pada bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19 ,20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat
Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti India, Pakistan, Australia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya, Jerman, dan Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB U Thant meminta Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun.
Ekonomi
Pada tanggal 27 Desember 1958, presiden Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 yang memerintahkan dinasionalisasikannya semua perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:
1. Perusahaan Perkebunan
2. Netherlansche Handels Mattscapij
3. Perusahaan Listrik
4. Perusahaan Perminyakan
5. Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM
Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
1. Memindahkan pesar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)
2. Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
3. Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
4. Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda.
Konflik bersenjata
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun 1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari:
• Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)
• Korps Mariniers
• Marine Luchtvaartdienst[3]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan Marine Luchtvaartdienst. Selain itu, batalyon infantri 6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri Oranje Gelderland yang terdiri dari 3 Batalyon yang ditempatkan di Sorong, Fakfak, Merauke, Kaimana, dan Teminabuan
Operasi-operasi Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau Jawa. Walaupun begitu, TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.
Pada tanggal 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal
Pertempuran laut Aru
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal 15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu KRI Macan Kumbang, KRI Macan Tutul yang membawa Komodor Yos Sudarso, dan KRI Harimau yang dinaiki Kolonel Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi 04-49° LS dan 135-02° BT. Menjelang pukul 21.00, Kolonel Mursyid melihat tanda di radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, dimana berarti kapal itu sedang berhenti. 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.[4] Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal, “Kobarkan semangat pertempuran”.
Operasi penerjunan penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia dibawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun, operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.
Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03.30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1 menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Akhir dari konflik
Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua juga mengubah pendiriannya dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS]
Persetujuan New York
Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan New York adalah:
• Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
• Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
• Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
• UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
• Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
1. musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
2. penetapan tanggal penentuan pendapat
3. perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
 tetap bergabung dengan Indonesia; atau
 memisahkan diri dari Indonesia
4. hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
• Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota Hollandia dinamai Kota Baru dan pada 5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka atau OPM pada 1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.
Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB, namun mereka meninggalkan Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.
Setelah penggabungan
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
1. Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
2. Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
3. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
4. penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.

Tinggalkan komentar